Ilustrasi pengguna QRIS Livin' Mandiri di salah satu merchant. / Antara
Harianjogja.com, JAKARTA—Di tengah isu tarif impor yang diterapkan Amerika Serikat, sistem pembayaran di sejumlah negara disorot Pemerintah Donald Trump.
Sistem pembayaran ini dianggap merugikan kepentingan negara Amerika Serikat, yang mencuat di tengah gonjang-ganjing penetapan tarif resiprokal.
Amerika Serikat (AS) melihat sistem pembayaran Indonesia yaitu Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) menjadi pengganjal perdagangan. Sistem pembayaran serupa di negara-negara lain turut dikeluhkan AS. Kenyataan tersebut pun menjadi bahan pembicaraan warganet di media sosial seperti X.
“Ternyata US gak cuma ngeluhin QRIS dan GPN. Mereka ngeluhin semua negara yang punya sistem payment independen. India, Meksiko, Thailand, sama Vietnam juga dikeluhin sama mereka. Periuknya terganggu,” tulis akun @ardisatriawan, dikutip pada Selasa (22/4/2025).
Melansir National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025, yang terbit pada 31 Maret—hanya dua hari sebelum Trump mengumumkan tarif resiprokal—tertulis beberapa keluhan terkait sistem pembayaran di Indonesia, India, Meksiko, Vietnam, dan Thailand.
Isi keluhannya pun serupa, bahwa sistem pembayaran yang dikembangkan masing-masing negara merugikan negaranya, termasuk para pengusaha AS.
Berikut keluhan AS atas sistem pembayaran di beberapa negara:
Thailand
Sejak 2013, Thailand mewajibkan pemrosesan di dalam negeri untuk semua transaksi pembayaran elektronik ritel domestik untuk kartu debit yang diterbitkan di Thailand.
“Akibatnya, pemasok layanan pembayaran elektronik asing tidak dapat memasok layanan ini lintas batas dan harus membangun kehadiran lokal dan membangun fasilitas pemrosesan di Thailand,” sebagaimana tertulis dalam dokumen NTE, dikutip pada Selasa (22/4/2025).
Ketika sebuah kartu diterima di lebih dari satu jaringan, setidaknya salah satu dari jaringan tersebut harus merupakan jaringan kartu debit domestik. Berdasarkan Standar Kartu Chip Bank Thailand 2016, Bank of Thailand mewajibkan lembaga keuangan yang menerbitkan kartu debit untuk menerbitkan kartu dengan chip berstandar lokal.
Vietnam
Pada 2016, dua jaringan pemrosesan pembayaran Vietnam dikonsolidasikan menjadi monopoli de facto, National Payments Corporation of Vietnam (NAPAS), yang sebagian dimiliki oleh State Bank of Vietnam.
Sejak Januari 2021, Vietnam mewajibkan transaksi pembayaran elektronik ritel domestik (tidak termasuk transaksi online) seperti kartu pembayaran, termasuk kartu pembayaran bermerek internasional diproses melalui NAPAS.
Meksiko
Amerika Serikat terus memantau perkembangan sehubungan dengan kerangka kerja kebijakan Meksiko yang terus berkembang untuk pemasok layanan pembayaran elektronik.
AS menilai kebijakan Meksiko saat ini membatasi layanan pembayaran elektronik AS untuk memasok rangkaian lengkap layanan bernilai tambah mereka secara lintas batas.
Selain itu, pada September 2023 Komisi Persaingan Ekonomi Federal Meksiko mengidentifikasi hambatan persaingan di pasar pemrosesan pembayaran kartu dan mengeluarkan rekomendasi kepada Bank Sentral Meksiko (Banxico) dan Komisi Nasional Perbankan dan Sekuritas untuk memulihkan kondisi persaingan.
Ketika Meksiko mempertimbangkan untuk memperbarui peraturannya, AS terus mendorong Meksiko untuk memfasilitasi pasar yang kompetitif dan level playing field yang setara bagi pemasok layanan pembayaran elektronik AS.
India
AS turut mengeluhkan QR code milik india, yakni terkait perluasan adopsi Kartu Mobilitas Umum Nasional (National Common Mobility Card/NCMC) yang hanya menggunakan standar kode QR milik dalam negeri, yang merugikan pemasok asing.
AS menilai India belum membagikan standar qSPARC domestik—alat pembayaran di India—yang secara efektif melarang perusahaan untuk berpartisipasi dalam peluncuran NCMC.
Selain itu, AS juga menyuarakan keprihatinan terkait kebijakan informal dan formal sehubungan dengan layanan pembayaran elektronik yang tampaknya lebih menguntungkan pemasok domestik India daripada pemasok asing.
Di mana pada November 2020, National Payments Corporation of India (NPCI) yang merupakan perusahaan negara mengumumkan batasan pangsa pasar sebesar 30% (diukur dari transaksi) untuk pemasok layanan pembayaran elektronik asing yang memproses pembayaran online yang dilakukan melalui Antarmuka Pembayaran Terpadu India, yang dimiliki dan dioperasikan oleh NPCI.
Perusahaan-perusahaan pembayaran digital asing diberi waktu hingga Januari 2023 untuk memastikan pangsa pasar mereka memenuhi batas 30%, tetapi Kementerian Keuangan belum memberlakukan batas pangsa pasar ini.
Sementara pada 2018, Reserve Bank of India (RBI) menerapkan persyaratan bahwa semua penyedia layanan pembayaran menyimpan semua informasi yang terkait dengan pembayaran elektronik oleh warga negara India di server yang berlokasi di India.
“RBI mengumumkan aturan ini tanpa pemberitahuan sebelumnya atau masukan dari para pemangku kepentingan,” sebagaimana tertulis dalam dokumen NTE.
Pada 2019, RBI menyatakan persyaratan untuk menyimpan data pembayaran secara lokal juga berlaku untuk bank-bank yang beroperasi di India. Perusahaan-perusahaan asing menyatakan bahwa persyaratan penyimpanan data ini menghambat kemampuan pemasok layanan untuk mendeteksi penipuan dan memastikan keamanan jaringan global mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis.com