Dari kiri ke kanan, Daud Aris Tanudirjo, Moe Chiba, Joe Sidek, dan Yohana Margaretha (moderator) dalam Seminar Internasional JKPI 2025 di Hotel Tentrem, Kota Jogja, Rabu (6/8/2025). Harian Jogja - Sirojul Khafid
JOGJA—Kesederhanaan bisa menuntun kita menemukan kemegahan warisan budaya. Serangkaian kegiatan masyarakat yang natural di sekitar lokasi warisan budaya justru merupakan kemegahan yang selalu bisa dirayakan.
Hal ini disampaikan oleh Chairman of the Penang Arts Council, Joe Sidek, dalam Seminar Interasional Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) 2025 bertema Resiliensi Kawasan Cagar Budaya Guna Mendorong Pemberdayaan Masyarakat Berkelanjutan di Hotel Tentrem, Kota Jogja, Rabu (6/8/2025).
Konsep serupa sudah diterapkan Joe di Malaysia, tepatnya di kawasan George Town. Dia menggelar beragam acara dengan menggandeng masyarakat lokal. Meski konteksnya tidak sama persis dengan wilayah warisan budaya, dia berhasil memaksimalkan keunikan dan potensi masyarakat lokalnya. Hal-hal yang autentik yang hanya ada di wilayah dan masyarakat setempat, ibarat berlian bagi para pengunjung.
Wisatawan ingin melihat sesuatu yang berbeda, dan khas dari setiap wilayah yang dikunjungi. "Setiap wilayah punya keunikan dan sejarahnya masing-masing, dan tidak bisa direplikasi di daerah lain. Orang pengen liat kota yang sesungguhnya, tentang adat, ritual, dan segala hal yang masyarakat lokal lakukan," kata Joe.
"Kita perlu apresiasi jiwa dari suatu kota, beserta sejarah budaya dan orang-orangnya. Masyarakat harus ambil bagian, kadang pemerintah membuat acara tapi pendatang tidak merasakan feel-nya. Justru perlu sederhana, down to earth," katanya.
Pentingnya melibatkan masyarakat ini pula yang menjadi perhatian dari narasumber lain, yaitu dosen arkeologi Universitas Gadjah Mada, Daud Aris Tanudirjo. Dia mengatakan agar pelestarian warisan budaya bisa berkelanjutan, masyarakat perlu ambil bagian. Dengan demikian, pelestarian ataupun pengembangan kawasan warisan budaya, bisa berdampak secara seimbang di masyarakat.
Melestarikan dan mengembangkan warisan dunia yang berkelanjutan tidak hanya perkara ekonomi, namun juga meliputi aspek sosial, lingkungan, dan lainnya. "Perlu seimbang, antara sosial, budaya, hingga ekonomi," katanya.
Keseimbangan Kebutuhan
Daud mengatakan di banyak daerah, kadangkala pemerintah berjalan sendiri. Mereka membuat program sendiri dan dijalankan sendiri pula. Terkadang pemerintah tidak menjalin komunikasi dengan masyarakat. "Perlu adanya keseimbangan kepentingan dan kebutuhan beragam pihak," kata Daud.
Pengelolaan warisan budaya ini perlu menjadi perhatian, lantaran tantangan setiap zamannya selalu berubah. Moe Chiba dari Kantor UNESCO di Jakarta juga mengatakan terdapat pola yang berubah dalam pengajuan warisan budaya dunia. Di tahun 1990-an, banyak warisan budaya yang konsepnya arkeologi. Namun belakangan ini, warisan budaya banyak merambah ke kawasan, ruang, dan hal-hal di sekitarnya.
Artinya, warisan budaya ini dekat dengan aktivitas masyarakat sehari-hari. Moe mencontohkan kawasan Sumbu Filosofi Jogja, yang belum lama ini menjadi Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Sepanjang Sumbu Filosofi Jogja banyak kegiatan masyarakat seperti pasar dan sebagainya.
Moe mengatakan di satu sisi, hal itu menambah keragaman aktivitas. Namun di sisi lain, ada potensi masalah dalam pelestarian warisan budaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News