Sejarah Arseto Solo, raksasa sepak bola era Galatama di masa Orde Baru

4 weeks ago 44

Jakarta (ANTARA) - Tidak hanya Persis, kota Solo juga pernah memiliki nama besar lain dalam kancah sepak bola nasional khusunya di era Galatama, nama itu adalah Arseto Solo.

Klub ini muncul sebagai kekuatan sepak bola Surakarta di tengah persaingan era Galatama, liga sepak bola nasional saat itu.

Nama Arseto Solo menjelma sebagai simbol perjuangan dan filosofi lokalitas masyarakat Surakarta dan sekitarnya dalam sepak bola Indonesia.

Berdiri pada tahun 1978, klub ini tidak hanya menjadi peserta kompetisi elit Liga Sepak Bola Utama, tetapi juga mewakili semangat olahraga dari Kota Surakarta.

Awal mula dan filosofi nama

Arseto atau Aryo Seto Football Club, didirikan oleh Sigid Harjoyudanto, putra dari Presiden Soeharto. Nama Arseto dipercaya berasal dari tokoh pewayangan Aryo Seto yang melambangkan keberanian, atau dari nama putra Sigid, Ari Sigit Soeharto.

Pada awalnya, Arseto bermarkas di Jakarta sebelum akhirnya pindah ke Solo pada 1983. Perpindahan ini terjadi seiring dengan peresmian Stadion Sriwedari yang menjadi tonggak sejarah pencanangan Hari Olahraga Nasional oleh Presiden Soeharto pada tanggal 9 September 1983.

Bersama 13 tim lainnya, Arseto menjadi pelopor Galatama, kompetisi yang dirancang untuk profesionalisasi sepak bola Indonesia.

Di balik nama besar ini, ada prinsip kuat yang dipegang, yaitu Arseto hanya menggunakan pemain lokal. Filosofi ini tak hanya mempertegas identitas klub, tetapi juga menjadi fondasi bagi regenerasi sepak bola Tanah Air.

Perjuangan "Tim Biru Langit"

Berbalut warna kebanggaan biru muda, Arseto mendapat julukan "Tim Biru Langit". Adapun julukan lainnya adalah "The Cannon", mencerminkan energi tanpa henti yang diperlihatkan para pemainnya di lapangan.

Sejak awal, klub ini dikenal sebagai kekuatan yang tidak mudah dipatahkan, bahkan di tengah persaingan ketat dengan tim-tim lain di era Galatama.

Namun, perjalanan Arseto bukan sekadar cerita tentang kemenangan di lapangan. Dengan fokus pada pengembangan pemain lokal, Arseto menjadi tempat lahirnya talenta berbakat seperti Ricky Yacob, Sudirman, Rochy Putiray, dan I Komang Putra, yang kemudian memperkuat tim nasional Indonesia.

Kilas balik prestasi

Prestasi Arseto Solo berbicara banyak tentang dedikasi mereka:

  • 1985: Juara Piala Liga I
  • 1985: Juara Invitasi Perserikatan Galatama
  • 1992: Juara Kompetisi Galatama
  • 1993: Wakil Indonesia di Kejuaraan Antarklub Asia

Salah satu pencapaian paling gemilang mereka adalah saat mewakili Indonesia di Liga Champions Asia 1992/1993.

Setelah mengalahkan Kota Rangers FC dari Brunei Darussalam dan Thai Farmers Bank dari Thailand, Arseto berhasil melangkah ke fase grup semifinal.

Mereka berhadapan dengan klub-klub kuat seperti Yomiuri FC (Jepang) dan Al-Shabab (Arab Saudi). Meski akhirnya terhenti di fase ini, keberhasilan mereka mencapai tujuh besar merupakan kebanggaan besar bagi perkembangan sepak bola Indonesia.

Arema bantai Arseto Pemain Arema Malang, Engelberd (kanan) mencoba melewati hadangan pemain Arseto Solo, Wawan Apriyanto, dalam pertandingan persahabatan di Stadion Manahan, Solo, Jateng, Kamis (15/11). Arema berhasil menang telak dengan skor 7-0. (ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)

Akhir kisah sang legenda

Sayangnya, pada tahun 1998, Arseto Solo harus mengakhiri kiprahnya. Gelombang kerusuhan sosial-politik yang melanda Indonesia saat itu turut mempengaruhi eksistensi klub yang dimiliki keluarga Presiden Soeharto yang saat itu lengser.

Pertandingan terakhir mereka melawan Pelita Jaya pada 6 Mei 1998 menjadi momen perpisahan yang pahit bagi para pendukung setianya yang memiliki nama KPAS (Komunitas Pecinta Arseto Solo).

Pertandingan ini juga berujung kerusuhan yang merupakan bagian dari rentetan peristiwa kerusuhan Mei 98.

Asa untuk kembali

Di balik kepergian Arseto Solo, ada harapan yang terus hidup. Mantan manajer klub, Prof. Brodjo Sudjono, sempat memprakarsai gagasan untuk menghidupkan kembali Arseto.

Melalui pertandingan persahabatan antara Unsa-ASMI Solo dan All Star Arseto di Stadion Manahan, wacana ini mulai diperbincangkan. Dukungan pun datang dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah yang ingin Arseto kembali menjadi kebanggaan Kota Solo.

Warisan yang abadi

Meskipun tidak lagi aktif, Arseto Solo tetap hidup dalam memori kolektif para pecinta sepak bola Indonesia. Filosofi mereka tentang pentingnya pengembangan pemain lokal, semangat yang tidak kenal lelah, dan perjuangan melawan raksasa sepak bola Asia menjadikan mereka lebih dari sekadar klub.

Arseto adalah simbol bahwa olahraga bukan hanya tentang kemenangan, tapi ini tentang semangat yang tak pernah padam, filosofi, dan inspirasi yang diwariskan kepada generasi berikutnya.

Hari ini, nama Arseto tetap dikenang sebagai salah satu tim besar yang pernah berjaya di sepak bola Indonesia, khususnya era Galatama.

Bagi mereka yang pernah menyaksikan kiprahnya, Arseto Solo adalah bukti bahwa warisan sejati tidak pernah benar-benar mati.

Baca juga: Sejarah NIAC Mitra, raksasa Galatama yang pernah taklukkan Arsenal

Baca juga: Legenda "Singo Edan" Mahdi Haris tutup usia

Baca juga: Indonesia kejar perbaikan peringkat kompetisi liga di ASEAN

Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2024

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |