Produksi Kopi Indonesia Masuk Jajaran Lima Besar Dunia

11 hours ago 2

Harianjogja.com, JOGJA—Indonesia masuk lima besar produsen kopi di dunia. Setiap tahunnya, produksi kopi Indonesia juga meningkat. Dalam data United States Department of Agriculture (USDA), volume produksi kopi global pada musim panen 2024/2025 mencapai 174,39 juta kantong ukuran 60 kilogram (kg). Jumlah ini berasal dari 57% kopi jenis arabika dan 43% robusta. Indonesia masuk urutan kelima global dengan produksi lebih dari 10 juta kantong kopi. Dari volume tersebut, jenis robusta lebih banyak daripada arabika.

Adapun urutan produksi kopi terbesar di dunia, dari yang terbesar yaitu Brazil (65 juta kantong berukuran 60 kg), Vietnam (31), Kolombia (12,5), Etiophia (11,5), Indonesia (11,2), Uganda (6,8), India (6), Honduras (5,8), Peru (4,2), dan Meksiko (3,9). USDA memprediksi produksi kopi di Indonesia meningkat 550.000 karung menjadi 11,3 juta karung pertahunnya.

"Produksi Robusta diperkirakan mencapai 9,8 juta karung dengan kondisi pertumbuhan yang baik di daerah dataran rendah Sumatera Selatan dan Jawa, di mana sekitar 75% kopi ditanam. Produksi Arabika juga diperkirakan meningkat sedikit menjadi 1,5 juta karung. Peningkatan produksi diperkirakan akan meningkatkan ekspor biji kopi sebesar 400.000 karung menjadi 6,5 juta," tulis dalam laporan yang rilis awal Juni 2025 ini.

BACA JUGA: Kemensos: Anak Jalanan Jadi Target Utama Ikuti Sekolah Rakyat

Sementara peningkatan produksi yang cukup besar dan konsisten di dunia berasal dari Uganda. Pada tahun 2025/26, Uganda diperkirakan akan memproduksi 5,8 juta karung kopi Robusta dan 1,1 juta karung Arabika. Produksi ini menjadikan Uganda masuk dalam jajaran negara produsen kopi terbesar di dunia.

Produksi kopi sangat penting bagi perekonomian Uganda, menghasilkan hampir 20% pendapatan devisa dari ekspor senilai $1,1 miliar pada tahun 2024. Pasar utamanya meliputi Uni Eropa, Amerika Serikat, Sudan, dan India. Dalam lima tahun terakhir, total lahan kopi di Uganda meningkat 5% hingga mencapai 590.000 hektar. Meskipun produksi kopi tersebar di sebagian besar Uganda, produksinya terkonsentrasi di tiga wilayah. Wilayah Barat Daya meliputi kopi Robusta dan Arabika dan menyumbang hampir setengah dari produksi.

Wilayah Masaka Raya dan Wilayah Tengah didominasi oleh produksi Robusta, yang masing-masing menyumbang sekitar 15% dari total produksi. Lebih dari 85% produksi berasal dari 1,8 juta lahan pertanian keluarga kecil yang luasnya berkisar antara 0,5 hingga 2,5 hektar. "Para petani ini sering kali menanam pisang, kacang-kacangan, dan vanili secara tumpang sari untuk meningkatkan kesuburan dan kelembapan tanah. Praktik ini memiliki keuntungan dalam hal diversifikasi pendapatan, tetapi mengorbankan hasil panen," tulisnya.

Selama 20 tahun terakhir, Pemerintah Uganda membuat beberapa program untuk meningkatkan daya saing dan keberlanjutan sektor kopi. Selama kurun waktu tersebut, Otoritas Pengembangan Kopi Uganda (UCDA) melaksanakan Kampanye Produksi Kopi, yang diikuti oleh Kebijakan Kopi Nasional. Sasaran strategisnya adalah untuk meningkatkan produksi dan produktivitas, memodernisasi penanganan dan penyimpanan pasca panen, memperluas konsumsi domestik dan internasional, serta mengembangkan program pinjaman.

Untuk Vietnam, produksi kopi di negara tersebut diperkirakan akan terus pulih hingga mencapai 31,0 juta karung pada tahun 2025/26. Hal ini karena hasil panen yang lebih tinggi yang disebabkan oleh cuaca yang mendukung. Selain itu, harga yang tinggi memungkinkan petani kopi untuk meningkatkan pengeluaran untuk pupuk dan input lainnya guna lebih meningkatkan hasil panen. Luas panen diperkirakan hampir tidak berubah, dengan hampir 95% dari total produksi tetap berupa Robusta. Ekspor biji kopi diperkirakan naik 1,6 juta karung menjadi 24,6 juta karung karena pasokan yang lebih tinggi.

Lebih Dalam Tentang Produksi Kopi Indonesia

Pada tahun 2025/26, produksi kopi Indonesia diperkirakan tumbuh sebesar 5%, mencapai 11,3 juta karung. Data ini berasal dari United States Department of Agriculture (USDA).

Peningkatan produksi kopi di Indonesia, diprediksi berkat cuaca yang mendukung dan peningkatan input atau penanaman. Ekspor diperkirakan naik sebesar 7% menjadi 6,5 juta karung. Sementara konsumsi dalam negeri diperkirakan mencapai 4,8 juta karung karena lemahnya belanja konsumen. Amerika Serikat tetap menjadi salah satu importir biji kopi hijau terbesar dari Indonesia.

Luas lahan pertanian kopi di Indonesia pada tahun 2025/26 diperkirakan tetap stabil di angka 1,2 juta hektar. Hal ini karena tidak ada program penanaman ulang dan perluasan lahan yang besar dalam beberapa tahun terakhir. "Perluasan lahan pertanian rakyat mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun karena terbatasnya tenaga kerja di lahan dataran tinggi yang cocok untuk tanaman arabika. Perkebunan rakyat dengan luas rata-rata 1 hingga 2 hektare masih mencakup 98% dari seluruh lahan," tulis dalam laporan.

Beberapa perkebunan besar (sekitar 2.000 hektare) yang berlokasi di Sulawesi dan Sumatera dimiliki dan dikelola oleh perusahaan swasta. Sebuah perusahaan milik negara di Jawa Timur juga mengelola perkebunan Robusta yang besar. Sumatera tetap menjadi daerah penghasil kopi terbesar di Indonesia, menghasilkan sekitar 70% – 75% dari semua kopi biji hijau.

BACA JUGA: 29 Penumpang Belum Ditemukan, Manajemen KMP Tunu Pratama Jaya Minta Maaf

Produksi Robusta menyumbang sekitar 80% – 90% dari total produksi dan terpusat di wilayah Selatan Sumatera, yang terdiri dari provinsi Sumatera Selatan, Lampung, dan Bengkulu. Sumatera Utara merupakan daerah penghasil utama Arabika di Indonesia. Daerah lain dengan produksi yang lebih kecil berada di daerah dataran tinggi Jawa, Sulawesi, dan Papua.
Tetap Perlu Waspada

Di tengah kabar meningkatnya produksi kopi Indonesia, tantangan tetap muncul, yang perlu menjadi kewaspadaan bersama. Salah satunya dari sektor alam. Menurut Direktur Beragam, sebuah perusahaan dalam industri kopi, Nur Jamila, perubahan iklim telah mempengaruhi keberlangsungan produksi kopi. “Perubahan iklim yang mengubah musim panen, hama yang semakin suit dikendalikan, dan yang paling mengkhawatirkan, semakin sedikit anak muda yang memilih jalan sebagai petani,” kata Jamila, Senin (1/7/2025).

Jamila menekankan saat ini semua pihak yang terlibat dalam industri kopi khususnya di Indonesia perlu membangun kesiapan baik dari peningkatan kemampuan petani sampai dengan menjaga kualitas biji kopi. Hal tersebut dapat dicapai apabila melakukan adaptasi yang tepat seperti melalui program pelatihan yang relevan, praktik agroforestri atau praktik pengelolaan lahan yang mengintegrasikan komponen kehutanan dengan pertanian dalam satu unit pengelolaan untuk mencapai keseimbangan ekologi, ekonomi, dan sosial yang berkelanjutan.

Upaya lainnya yang bisa dilakukan yakni menjaga ekosistem industri kopi dan memberikan dukungan yang diturunkan lintas generasi. “Semua itu hanya bisa bertahan kalau kita juga menaruh perhatian yang sama besar ke hulu,” kata Jamila.
Jamila turut menekankan pengaruh perubahan iklim yang semakin nyata, seharusnya dapat menjadi momentum perubahan supaya para petani kopi tidak merasa ditinggalkan dan bumi dapat terjaga serta lestari. “Hal ini juga difokuskan supaya perjalanan kita di hilir, tetap bisa dirayakan, tanpa mengorbankan masa depan,” katanya.

Petani Indonesia dengan Segala Tantangannya

Terkait dengan peningkatan margin harga kopi yang lebih tinggi dalam dua tahun terakhir, petani kecil di Indonesia mulai menambahkan lebih banyak pupuk, meremajakan perkebunan kopi yang terbengkalai, dan meningkatkan praktik pemeliharaan.

Di Lampung, petani kecil sering kali memperoleh pupuk dan pestisida secara kredit dari agregator kopi tingkat desa, yang biasanya adalah petani kecil itu sendiri. Tenaga kerja keluarga terutama digunakan untuk kegiatan non-panen, sementara tenaga kerja panen dirotasi antarperkebunan untuk mengurangi biaya tenaga kerja.

Hasil panen kopi Robusta biasanya di bawah satu ton per hektar dan bervariasi menurut wilayah dan seringkali lebih rendah daripada hasil panen kopi Arabika. Di Indonesia, keseimbangan sinar matahari dan curah hujan setelah pembungaan sangat penting untuk produksi kopi yang optimal. Namun, hujan lebat dan angin kencang selama perkembangan ceri dapat menurunkan hasil panen secara signifikan.

"Dengan cuaca yang baik selama periode pembungaan dari Oktober hingga November 2024, sebagian besar tanaman Robusta di daerah penghasil dataran rendah diperkirakan akan membaik," tulis dalam laporan USDA tahun 2025.

Penggunaan bibit berkualitas dengan hasil lebih tinggi masih terbatas karena banyak petani secara tradisional mengandalkan bahan tanam lokal. Bantuan pemerintah daerah untuk bibit bersubsidi dan program pelatihan eksportir bagi petani masih terbatas pada daerah tertentu.

Sementara dari sisi konsumsi kopi di Indonesia pada tahun 2025/26, diperkirakan mencapai 4,81 juta kantong, sedikit peningkatan 10.000 kantong dari tahun sebelumnya. Hal ini karena permintaan yang terus meningkat dari tempat pemanggang dan pengolah. Pada tahun 2024/25, tempat pemanggang kopi lokal menghadapi margin yang tertekan karena harga biji kopi yang meningkat dan belanja konsumen kelas menengah yang lemah.

USDA memperkirakan konsumsi kopi kelas rendah hingga menengah akan sedikit meningkat karena konsumen beralih ke produk berbiaya lebih rendah selama sisa tahun 2025. Di daerah perkotaan, pedagang kaki lima dan pedagang keliling yang menawarkan produk kopi murah populer di kalangan pekerja dan konsumen berpenghasilan rendah dan menengah. Sementara gerai kopi di tempat umum mempertahankan pasar mereka untuk konsumen kelas atas dan segmen Gen-Z muda.

"Penjualan kopi siap minum, yang biasanya dijual dengan harga lebih terjangkau daripada kopi di gerai kopi besar, kemungkinan akan terus meningkat pada tahun 2025/26. Penjualan kopi RTD diperkirakan akan tumbuh sebesar 3 persen pada tahun 2025, tingkat pertumbuhan paling lambat sejak pandemi," tulisnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |