Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Dinas Pertanian dan Pangan Gunungkidul memastikan tidak ada laporan kekeringan lahan pertanian di wilayahnya meski musim kemarau melanda wilayah setempat. Sekretaris Dinas Pertanian dan Pangan Gunungkidul, Raharjo Yuwono memastikan hal ini karena petani sudah terbiasa menghadapi musim kering dan menyesuaikan pola tanam berdasarkan ketersediaan air.
“Kalau laporan kekeringan tidak ada karena petani sudah terbiasa dengan kering. Yang menanam hanya yang punya sumber air, seperti di sepanjang Sungai Oyo, Patuk, Playen, Semanu, Ponjong, hingga Saptosari. Mereka pakai pompa air, irigasi, atau air tanah,” ujarnya Rabu (6/8/2025).
BACA JUGA: Tarik Rp50 Ribu, Jukir Kawasan Malioboro Ditangkap Petugas
Adapun lahan yang tidak memiliki akses air, petani memilih tidak menanam padi dan hanya menunggu panen ubi kayu. "Kalau yang tidak ada sumber air, ya mereka tidak punya keberanian untuk tanam. Setelah panen ubi kayu, baru mulai olah lahan lagi sekitar Agustus untuk siap tanam di musim hujan bulan Oktober," katanya.
Menurutnya, Gunungkidul didominasi lahan tadah hujan atau lahan kering yang sangat bergantung pada curah hujan. Pola tanam pun disesuaikan: padi saat musim hujan, kemudian palawija jika masih tersedia air, dan selanjutnya lahan dibiarkan menunggu musim berikutnya.
Terkait produksi ubi kayu, Raharjo menyebut komoditas ini menjadi tabungan"penting petani. Selain untuk konsumsi rumah tangga dan pakan ternak, sebagian besar produksi ubi kayu dijual. "Dalam dua bulan panen seperti Juli-Agustus, konversi nilai produksi ubi kayu bisa tembus Rp1 hingga Rp1,5 triliun," ungkapnya.
Ia juga menanggapi soal fenomena jembutan, yakni kondisi ubi kayu yang menghitam. Menurutnya, hal itu disebabkan proses pengeringan yang tidak sempurna akibat cuaca mendung atau gerimis. Namun, secara umum kualitas panen tahun ini dinilai cukup baik.
BACA JUGA: Beras Oplosan: Satgas Temukan Pelanggaran Mutu di PT PIM
“Ubi kayu ini salah satu komoditas andalan Gunungkidul. Sebagian dijual ke luar daerah, sebagian diolah jadi mokaf, sebagian lainnya dikonsumsi sendiri,” kata Raharjo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News