OPINI: Perebutan Empat Pulau, Konflik Berkepanjangan antara Sumatra Utara dan Aceh

6 hours ago 3

 Perebutan Empat Pulau, Konflik Berkepanjangan antara Sumatra Utara dan Aceh Pasca Dagama Sagala, Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintah UGM.

Di antara hamparan biru perairan Indonesia yang membentang dari Sabang hingga Merauke, terselip kisah pilu empat pulau kecil yang menjadi sumber pertikaian berkepanjangan. Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang-mungkin namanya tak sepopuler pulau-pulau wisata lainnya, namun bagi masyarakat Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah, keempat pulau ini menyimpan nilai historis, ekonomi, dan kultural yang tak ternilai.

Konflik yang telah berlangsung lebih dari 15 tahun ini bukan sekadar sengketa batas administratif biasa, melainkan sebuah drama kompleks yang melibatkan berbagai dimensi kehidupan berbangsa. 

Kegagalan Sistem Verifikasi: Akar Masalah Kontemporer

Proses verifikasi pulau tahun 2008 ternyata mengandung banyak kelemahan mendasar. Tim yang terdiri dari berbagai instansi pemerintah ini bekerja dengan menggunakan peta dasar tahun 1982 yang sudah tidak akurat, terutama setelah perubahan garis pantai besar-besaran pasca tsunami 2004. Yang lebih memprihatinkan, proses verifikasi hanya melibatkan dua perwakilan masyarakat adat dari dua belas kelompok yang sebenarnya memiliki hubungan historis dengan pulau-pulau tersebut.

Kesalahan metodologis ini diperparah oleh pendekatan yang terlalu birokratis dan kurang memperhatikan aspek sosio-kultural. Padahal, bagi masyarakat pesisir, pulau bukan sekadar angka di peta, melainkan bagian dari identitas dan kehidupan sehari-hari. Nelayan-nelayan tua di Aceh Singkil masih bisa menceritakan dengan detail bagaimana mereka dan leluhurnya telah memanfaatkan pulau-pulau tersebut sebagai tempat berlindung dari badai, sumber mata pencaharian, dan bahkan lokasi upacara adat turun-temurun.

Dimensi Ekonomi: Taruhan Besar di Balik Sengketa

Di balik sengketa yang tampaknya administratif ini, tersimpan kepentingan ekonomi yang sangat besar. Pulau Panjang, yang luasnya tidak lebih dari 200 hektare, ternyata menyimpan kekayaan alam yang menggiurkan. Perkebunan kelapa seluas 248 hektare di pulau ini telah menjadi sumber penghidupan bagi puluhan keluarga selama beberapa generasi. Yang lebih menarik, penelitian terbaru menunjukkan adanya cadangan guano (kotoran kelelawar yang kaya fosfat) dengan nilai ekonomi diperkirakan mencapai Rp182 miliar.

Perairan di sekitar keempat pulau ini merupakan salah satu yang paling produktif di Selatz Sumatera. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat potensi hasil perikanan mencapai Rp340 miliar per tahun. Tidak mengherankan jika nelayan dari kedua wilayah saling

berebut hak penangkapan ikan di zona ini. Setiap tahun, tercatat puluhan insiden bentrokan antara nelayan Aceh dan Sumatera Utara, sering kali dipicu oleh perbedaan penafsiran terhadap aturan adat dan hukum nasional.

Dampak Sosial: Masyarakat yang Terjepit di Tengah Konflik

Survei lapangan yang dilakukan tim peneliti pada awal 2023 di empat desa terdampak (dua di Aceh Singkil dan dua di Tapanuli Tengah) mengungkap dampak sosial yang sangat memprihatinkan. Sebanyak 78% nelayan mengaku mengalami penurunan pendapatan hingga 40% dalam tiga tahun terakhir akibat ketidakpastian status pulau. Yang lebih menyedihkan, 42% keluarga terpaksa memindahkan anak-anak mereka ke sekolah di daerah lain karena khawatir dengan eskalasi konflik.

Kehidupan sehari-hari masyarakat pesisir pun berubah drastis. Tradisi "meugang" (persiapan menyambut bulan Ramadhan) yang biasanya dilakukan dengan melaut bersama, kini dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian. Beberapa ritual adat terkait laut bahkan terpaksa ditiadakan karena kekhawatiran akan bentrokan dengan nelayan dari "seberang". Seorang tetua adat di Aceh Singkil bercerita dengan nada sedih, "Dulu kami bisa melaut dengan bebas, sekarang setiap pergi ke laut seperti masuk medan perang."

Kerusakan Lingkungan: Korban Diam dari Konflik Berkepanjangan

Sementara manusia sibuk berkonflik, alam di sekitar keempat pulau ini menjadi korban yang tak bersuara. Monitoring yang dilakukan oleh beberapa LSM lingkungan menemukan fakta mencengangkan: dalam kurun 2020-2023 saja, terjadi 23 kasus penangkapan ikan destruktif menggunakan bahan peledak dan racun sianida. Praktik illegal fishing ini telah merusak 48 hektar terumbu karang yang sebelumnya menjadi rumah bagi berbagai biota laut.

Yang lebih memilukan, tiga spesies endemik-ikan hias Chromis singkilensis, karang Acropora tapanuli, dan moluska Tridacna acehensis - terancam punah akibat eksploitasi berlebihan dan rusaknya habitat. Padahal, sebelum konflik memanas, kawasan ini dikenal sebagai salah satu spot penyelaman terbaik di Sumatra bagian utara. Kini, para penyelam profesional lebih memilih lokasi lain yang lebih aman dan terjaga kelestariannya.

BACA JUGA: Sulit Mengakses Server Saat Pendaftaran SPMB 2025, Ratusan Orang Tua Siswa Geruduk Kantor Disdikpora Jogja

Kebuntuan Hukum: Dilema Regulasi yang Tak Kunjung Terpecahkan

Analisis mendalam terhadap peraturan perundang-undangan terkait sengketa pulau menunjukkan adanya vakum hukum yang serius. UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah sama sekali tidak mengatur mekanisme khusus penyelesaian sengketa pulau kecil.

Sementara PP No.38/2002 tentang Pedoman Penyusunan RTRW justru menimbulkan multitafsir dengan definisi "pulau kecil" yang ambigu.

Keputusan Kemendagri tahun 2022 yang memenangkan klaim Sumatera Utara pun menuai kontroversi. Para ahli hukum tata negara menilai keputusan ini cacat prosedur karena tidak mempertimbangkan dokumen historis dari Aceh. Yang lebih problematik, keputusan tersebut bertentangan dengan prinsip "effective occupation" dalam hukum internasional yang seharusnya mengakui pengelolaan nyata oleh suatu masyarakat.

Politik Identitas: Api dalam Sekam Konflik Wilayah

Dalam beberapa tahun terakhir, konflik empat pulau ini mulai dimanfaatkan oleh segelintir elite politik lokal untuk kepentingan mereka. Analisis isi media massa menunjukkan peningkatan 220% pemberitaan bernada provokatif sejak 2020. Isu-isu sensitif terkait identitas kesukuan dan keagamaan sengaja dihembuskan untuk memanaskan situasi.

Di lapangan, polarisasi masyarakat semakin nyata. Seorang tokoh pemuda di Tapanuli Tengah mengaku, "Dulu kami bisa berteman baik dengan warga Aceh, sekarang setiap ketemu di laut saling curiga." Fenomena ini sangat disayangkan mengingat kedua komunitas sebenarnya memiliki banyak kesamaan budaya dan sejarah sebagai masyarakat pesisir Melayu.

Alternatif Solusi: Belajar dari Pengalaman Global

Beberapa pakar konflik wilayah mengusulkan model penyelesaian inovatif dengan belajar dari pengalaman negara lain. Kasus Pulau Batu Puteh antara Malaysia dan Singapura menunjukkan pentingnya bukti historis dalam penyelesaian sengketa. Sementara penyelesaian kreatif Pulau Hans antara Kanada dan Denmark melalui pembagian wilayah bisa menjadi inspirasi.

Untuk konteks Indonesia, beberapa opsi bisa dipertimbangkan:

  1. Model pengelolaan bersama (joint management) dengan pembagian hasil yang adil
  2. Pembentukan zona konservasi maritim yang melibatkan kedua belah pihak
  3. Skema otonomi khusus untuk pengelolaan pulau oleh masyarakat adat setempat

Jalan ke Depan: Rekonsiliasi dan Pembangunan Berkelanjutan

Menyelesaikan konflik empat pulau ini membutuhkan pendekatan holistik yang melampaui sekadar penetapan batas administratif. Langkah pertama yang penting adalah rekonsiliasi sosial antara masyarakat kedua wilayah. Program pertukaran budaya, koperasi nelayan lintas batas, dan sekolah perbatasan dengan kurikulum multikultural bisa menjadi jembatan perdamaian.

Di tingkat kebijakan, pemerintah pusat perlu segera membentuk tim khusus penyelesaian sengketa pulau yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Tim ini harus bekerja dengan deadline jelas dan dilengkapi dengan kewenangan yang memadai. Yang tak kalah penting adalah penyusunan UU khusus tentang pengelolaan pulau kecil yang selama ini menjadi anak tiri dalam peraturan perundangan kita.

Pulau-Pulau yang Menanti Kedamaian

Empat pulau kecil di perbatasan Sumatera Utara dan Aceh ini sesungguhnya adalah cermin dari tantangan besar bangsa kita dalam mengelola keragaman dan kekayaan alam. Konflik yang berlarut-larut ini bukan hanya merugikan masyarakat setempat, tetapi juga membuang energi bangsa yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan.

Di balik riak-riak konflik, pulau-pulau ini tetap berdiri tegak, menyimpan potensi besar untuk kesejahteraan bersama. Mereka menanti kebijaksanaan dan keberanian politik kita untuk menciptakan solusi yang adil dan berkelanjutan. Seperti kata seorang nelayan tua di Aceh Singkil. (***)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |