Prof. Dr. Dwi Sulisworo, Ketua Program Studi Pendidikan Program Doktor Universitas Ahmad Dahlan. / ist
Dalam banyak tanyangan video maupun berita di media sosial, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti memberikan penjelasan tentang deep learning yang bukan sebagai kurikulum pendidikan.
Deep learning disampaikan sebagai pendekatan belajar. Dalam penerapan deep learning dibawa serta beberapa konsep seperti Higher Order Thinking Skills (HOTS), joyful learning, dan mindfulness.
Beberapa waktu lalu juga disosialisasikan tentang penerapan pembelajaran coding dan computational thinking.
Hal yang disampaikan oleh Kemendikdasmen ini memberi gambaran bahwa dunia pendidikan dasar dan menengah di Indonesia diramaikan oleh beragam pendekatan dan istilah baru.
Semangat pembaruan ini tentu patut diapresiasi. Akan tetapi tak sedikit pihak di lapangan, baik itu guru, kepala sekolah, bahkan orang tua yang merasakan kegelisahan: Pertanyaan mereka sama, apakah ini inovasi yang bermakna, atau sekadar banjir program yang sulit diurai?
Ketika kebijakan datang silih berganti tanpa arah yang konsisten, sekolah justru disibukkan oleh upaya menyesuaikan diri dengan wacana yang terus berubah. Banyak guru mengalami apa yang disebut sebagai "kelelahan kebijakan", sebuah situasi di mana mereka kewalahan mengikuti berbagai pelatihan dan implementasi pendekatan baru, sementara tantangan pembelajaran sehari-hari belum tertangani tuntas.
Bukan Tumpang Tindih
Jargon-jargon pendidikan yang tidak terstruktur dalam naungan kebijakan payung akan berpotensi pada potensi tumpang tindih kepentingan dan program. Masalah utama dari banjir program ini bukan pada niatnya, karena semua pendekatan pada dasarnya bertujuan baik, melainkan pada ketiadaan integrasi.
Misalnya, joyful learning dan mindfulness sebenarnya bisa menjadi bagian dari strategi implementasi HOTS. Demikian pula dengan computational thinking dan coding yang dapat dipadukan dalam pembelajaran berbasis proyek.
Namun, sering kali pendekatan ini disampaikan ke sekolah sebagai program yang berdiri sendiri. Pemerintah Pusat perlu mengembangkan kebijakan payung yang menyatukan berbagai pendekatan ke dalam kerangka besar pembelajaran abad ke-21.
Pada beberapa tahun sebelumnya telah dikembangkan kebijakan misalnya Profil Pelajar Pancasila. Sebagai program yang berkesinambungan tentu ide-ide baru perlu diselaraskan dengan kebijakan Profil Pelajar Pancasila yang sebenarnya dapat disiapkan sebagai kerangka tersebut. Kini, hal terpenting adalah terkait dengan strategi implementasi yang disiapkan Kemendikdasmen secara lebih menyeluruh dan tidak parsial.
BACA JUGA: Pemerintah Buka Kuliah Gratis Sarjana S1 lewat Beasiswa Garuda 2025, Ini Penjelasannya
Kontekstual dan Bertahap
Disparitas mutu sekolah di Indonesia sangat lebar dalam berbagai aspek mutu. Tidak semua sekolah berada pada titik awal yang sama. Di daerah terpencil, tantangan infrastruktur dan keterbatasan guru sangat berbeda dengan sekolah di wilayah perkotaan.
Perubahan kebijakan pasti akan berimplikasi pada tingkat ketersediaan infrastruktur dan kompetensi guru.
Oleh karena itu, pendekatan seragam untuk seluruh Indonesia akan tidak realistis. Misalnya, pengenalan coding tidak harus selalu dalam bentuk bahasa pemrograman komputer.
Di sekolah dasar, khususnya di daerah dengan keterbatasan akses teknologi, pengembangan logika berpikir bisa dilakukan melalui permainan tradisional, cerita berurutan, atau metode unplugged lainnya.
Di sisi lain, sekolah di perkotaan bisa memanfaatkan platform daring dan media digital untuk eksplorasi proyek teknologi lebih lanjut. Selain konteks wilayah, kebijakan juga perlu mempertimbangkan ritme perubahan yang masuk akal.
Setiap pendekatan baru sebaiknya diberikan masa transisi yang cukup, dengan prioritas yang jelas dan pelatihan yang berkelanjutan. Guru membutuhkan ruang untuk memahami, mencoba, dan merefleksikan penerapan metode baru, bukan hanya menjadi peserta pelatihan yang terus berubah temanya setiap semester.
Subjek Perubahan
Isu beban adminstratif guru merupakan isu yang tidak kunjung selesai sampai saat ini. Ada anggapan bahwa harapan perubahan seperti apapun yang disampaikan oleh kementerian, di sekolah penerapan pembejaran juga tidak berubah karena berbagai keterbatasan yang dihadapi guru di sekolah.
Keadaan ini akan menjadi tantangan tersendiri. Kunci keberhasilan kebijakan pendidikan bukan hanya pada konsep, tetapi pada eksekusinya. Di sinilah posisi guru sangat krusial. Guru bukan sekadar objek perubahan, melainkan aktor utama yang menentukan berhasil atau tidaknya implementasi di ruang kelas. Sehingga, pelatihan guru hendaknya tidak bersifat top-down dan seragam, melainkan kontekstual, kolaboratif, dan berkelanjutan.
Model pengembangan komunitas belajar guru, mentoring sejawat, dan ruang refleksi praktik pengajaran akan jauh lebih berdampak dibanding pelatihan daring massal.
Pemerintah daerah dan dinas pendidikan setempat perlu diberi keleluasaan untuk menyusun model pengembangan profesi guru yang sesuai dengan kebutuhan lokal.
Pada prinspnya, Indonesia tidak pernah kekurangan gagasan pendidikan untuk membangun generasi yang lebih baik.
Namun yang dibutuhkan saat ini adalah penyelarasan langkah, kesabaran dalam implementasi, dan keberanian untuk menyederhanakan program. Inovasi dalam pendidikan tidak selalu berarti menambahkan hal baru setiap tahun.
Terkadang, inovasi sejati justru muncul dari kemampuan untuk menyatukan yang sudah ada, memperdalam praktik yang bermakna, dan memberi ruang bernapas bagi guru untuk bertumbuh. Jika tidak diselaraskan, jargon pendidikan yang terus bergulir setiap tahun hanya akan menjadi gema yang hilang dalam riuhnya tantangan pendidikan di lapangan.
Sudah saatnya untuk mengutamakan kesinambungan dan kontekstualitas dalam setiap kebijakan, bukan sekadar semangat perubahan sesaat. (***)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News