Harianjogja.com, SLEMAN—Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sleman mencatat ada 2.557 kasus tuberkulosis (TBC) sepanjang 2024. Kapanewon Depok menjadi wilayah paling banyak banyak ditemukan kasus.
Kepala Bidang Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinkes Sleman, Khamidah Yuliati, mengatakan ribuan kasus tersebut terbagi dalam dua jenis, yaitu TBC Sensitif Obat (RO) 2.526 kasus dan TBC Resisten Obat (RO) 31 kasus. Prevalensi TBC tahun lalu adalah 228,6 per 100.000 penduduk. Pasien rata-rata usia produktif 15–54 tahun (48%). Kasus tersebar di semua kapanewon.
BACA JUGA: Dinkes Sleman Waspadai Peningkatan Angka Kasus TBC
Ia menyebut, Kapanewon Depok menjadi wilayah paling banyak kasus dengan jumlah 228 kasus. Selain itu, ada Kapanewon Cangkringan ada 25 kasus, Moyudan 35 kasus, Turi 37 kasus, Minggir 40 kasus, Pakem 47 kasus, Seyegan 60 kasus, Prambanan 68 kasus, Ngemplak 71 kasus, Tempel 82 kasus, Berbah 82 kasus, Sleman 96 kasus, Godean 97 kasus, Kalasan 104 kasus, Ngaglik 123 kasus, Mlati 138 kasus, Gamping 143 kasus, dan Depok 228 kasus.
Menurut dia, persebaran TBC erat kaitannya dengan kepadatan hunian yang tinggi. Faktor ini yang mendorong banyaknya kasus TBC di Depok. Data BPS Sleman 2024 menyatakan ada 125.783 penduduk di Depok. Kalurahan Caturtunggal mendominasi jumlah penduduk dengan 44.505 penduduk, lalu Condongcatur 43.866 penduduk, dan Maguwoharjo 37.412 penduduk. Luas wilayahnya 35,55 kilometer persegi.
“Ada juga faktor ventilasi rumah atau tempat kerja yang buruk dan paparan lama dalam ruangan tertutup dengan pasien TBC aktif mendorong perbesaran kasus,” kata Khamidah dihubungi, Rabu (23/7/2025).
Adapun faktor risiko ekonomi juga mendorong persebaran kasus, sambungnya, seperti kemiskinan dan gizi buruk, keterbatasan akses layanan kesehatan, serta sanitasi dan kebersihan lingkungan yang rendah.
Untuk faktor individu mencakup imunitas tubuh rendah, bisa seperti pengidap HIV/AIDS, penderita diabetes melitus, penyakit kronis lan, dan penggunaan obat imunosupresif; lalu ada usia lanjut atau anak-anak yang memiliki imunitas lemah; dan malnutrisi. Perilaku merokok, konsumsi alkohol berlebihan, kurang kesadaran memeriksakan diri saat ada gejala, hingga kontak serumah atau kontak erat dengan penderita TBC jadi pemicu.
“Bakteri penyabab TBC itu namanya mycobacterium tuberculosis. Penularannya melalui udara atau droplet saat penderita TBC aktif batuk, bersin, atau berbicara. Kuman ini menyerang terutama paru-paru, tetapi bisa juga ke organ lain atau ekstra paru,” katanya.
Ia mengungkapkan, paling tidak ada 15 upaya yang Dinkes telah dan terus lakukan untuk mencapai zero TBC. Melalui inovasi Sleman Sigap Kendali dan Atasi Tuberkulosis (SIKAT TB), Dinkes melakukan skrining aktif melalui kegiatan jemput bola di komunitas (sekolah, pondok pesantren, tempat kerja, lingkungan padat); investigasi kontak erat dan pengumpulan dahak di lapangan; memanfaatkan kader dan tokoh lokal untuk pelaporan kasus suspek; pemeriksaan cepat terhadap semua suspek, termasuk anak, ODHA, dan kelompok risiko tinggi; pendampingan pasien oleh kader TB dan petugas Puskesmas (DOTS); serta edukasi keluarga pasien dan monitoring pengobatan secara berkala.
Ada juga penanganan khusus bagi kasus TBC RO; pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) bagi kontak erat, terutama anak dan lansia; edukasi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS); intervensi perbaikan lingkungan (ventilasi, pencahayaan, sanitasi); pelibatan aktif lintas sektor: pendidikan, keagamaan, sosial, dan pemerintah desa; koordinasi berkelanjutan dengan rumah sakit, klinik, dan fasilitas non-Puskesmas; dukungan kebijakan dan anggaran melalui jejaring lintas perangkat daerah; melakukan sosialisasi dan penyuluhan tentang penyakit TB; dan melakukan pencarian terduga/kasus di masyarakat.
Ihwal kesiapan Puskesmas dalam menangani TBC, Khamidah mengakui seluruh puskesmas di Kabupaten Sleman dapat melayani pemeriksaan dan pengobatan TBC secara gratis. Dengan adanya poli infeksius atau poli DOTS di seluruh puskesmas dapat menjaring terduga TBC dan pelayanan pengobatan. Ada juga fastrack untuk terduga dan pasien TBC, lalu Puskesmas sebagai faskes TCM dapat mendeteksi TB secara cepat, dan keberadaan tenaga kesehatan yang terlatih terkait program TB.
Meski telah melakukan serangkaian upaya pencegahan dan penyiapan fasilitas, masih ada sejumlah kendala yang dihadapi Dinkes untuk mencapai zero TBC, seperti stigma negatif di masyarakat bahwa penyakit TBC merupakan penyakit “guna-guna”, terduga TBC tidak mau melakukan pemeriksaan, tidak mau rutin melakukan pengobatan, pasien TBC mangkir dari penyembuhan, dan pasien tidak mau melapor karena takut kehilangan pekerjaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News